"Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi musibah dalam hidup. Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna musibah dan salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi musibah akibatnya bisa sangat fatal terhadap tingkat keimanannya"
Bagi seorang mu'min tentu meyakini bahwa segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena "Kun Fayakun" Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan "muhasabah" (introspeksi) atau"tazkirah" (peringatan) bagi diri kita, apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.
Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali(ke jalan yang benar ) (QS. As Sajdah, 32:21).
Dan, jika menimpa orang yang mu'min, pasti itu adalah bentuk kasih sayang Allah SWT. Dalam sebuah hadtis Rasulullah Saw pernah menyatakan: "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mu'min itu sebagai bentuk kasih-sayang.
Paling tidak ada "tiga" kemungkinan yang mendasari terjadinya musibah yang menurut Al Qur'an sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada orang-orang mumin. Pertama, sebagai ujian keimanan bagi orang mu'min. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mu'min diantaranya ditunjukan_Nya dengan menurunkan musibah dengan memberikan peluan kepada hamba-hamba-Nya uang mu'min untuk mengikuti ujian dalam proses peningkatan keimananya. Allah SWT berfirman: Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan "aamannaa" (kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah Kami uji ummat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya dan siapa pula yang dusta" (QS AlAnkabuut, 29:2-3)
Hakikatnya ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif, yang tidak positif adalah joka seseorang yang telah diberi peluang untuk mengikuti ujian tapi ternyata dia tidak lulus dalam ujiannya. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan ternyata bisa lulus dalam ujiannya.
Disadari atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah yang sebenarnya, sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam hidupnya. Ini pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang sebenarnya.
Kedua, yang mendasari terjadinya musibah adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min. "bukan" dalam bentuk ujian keimanan, tetapi sebenarnya Allah SWT sedang memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang mu'min. Namun karena ketidakmampuan manusia untuk bisa memahami hikmah di balik dari suatu peristiwa yang terjadi itu sebagai musibah.
Manusia tidak akan pernah mungkin bisa memahami apa hikmah di balik peristiwa yang sedang terjadi. pada saat peristiwa itu terjadi.. Kita akan bisa merasakan hikmahnya setelah sekian lama peristiwa tersebut terjadi. Pada saat peristiwa itu terjadi, mungkin saat itu kita menganggap sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun kemudian barulah kita menyatakan rasa syukurselalu menyadari hikmahnya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah berniat dengan berbagai macam persiapan menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari domisilinya yang terlebih dahulu dia telah memesan tiket pesawat. Pada saat pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata hanya terlambat beberapa menit dia tertinggal di Bandara. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkpan dalam bentuk cacian, makaian atu dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat kemudian melalui berita dia mendemgar bahwa pesawat yang semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu, dia sadar dan bersyukur karena tertinggal pesawat.
Karena ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia memastikan apa yang akan terjadi dan Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok" (Luqman, 31:34).
Di lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah 2:216). Oleh karena ketidakmampuan kita dalam memehami hikmah dari suatu peristiwa yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak baik, padahal sangat baik bagi kita. Jadi sangat mungkin sekali bahwa musibah yang menimpa diri kitasaat ini sebenarnya bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik bagi kita dunia dan akherat.
Ketiga, bisa juga musibah itu menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu'mn masih dalam konteks kasih sayang-Nya. Karena sangat dimungkinkan menurut Allah SWT bahwa si mu'min ini sudah mulai jauh meninggalkan aturan dan hukum-Nya yang menurut Allah, yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan agar segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.
Kalau musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik, berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan menunjukkan kepada kita apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah masih mau mengingatkan agar kita segera bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kita.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah" (pelajaran) nagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat mengecilkan arti kehidupan yang bersifat duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in bernama Urwah bin Zabir, yang ditakdirkan-Nya salah satu kakinya dari lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didtangkan 4 orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali amputasi (memotong) kaki yang membusuk tersebut. Jika tidak maka dikhawatirkeun penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.
Ketika berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan, kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera saja dilakukan? Lantas sepakat 4 Tabib ini siap untuk melakukan operasi. Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkan oleh Tabib minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia bertanya, minuman apa ini? "Arak" kata Tabib. Maksudnya apa, tanya Urwah. Jawab Tabib, supaya anda mabuk sehingga ketika anda dioperasi tidak terlalu merasa sakit karena sebentar lagi kaki anda akan digergaji mulai dari kulit, daging hingga tulang. Dan tentu saja akan terjasi pendarahan yang luar biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan "kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kakai anda dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.
Jawab Urwah, "saya tidak yakin jika anda seorang mu'min yang beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan akalnya. Sehingga dia sudah tidak knal lagi siapa Tuhannya, sudah tidak lagi sadar di mana Allah? Betapa saya meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk seperti untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku".
Lantas apa yang mesti kami lakukan, kata Tabib. Urwah berkata, setelah saya memberi isyarat dengan tangan saya, silaghkan laksanakan tugas kalian, gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali. Lalu Urwah pun asyik khusyu berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji kakinya. Maka digergajilahkaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam kuali.Konon dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.
Dibawakanlah potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulilah selama ini Engkau telah karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini Engkau ambil satu milik-Mu Ya Allah. innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas potongan kaki diberikan sambil memerintahkan untuk dikuburkan.
Nyaris tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang menyaksikan sejak awal itu berkomentar, kami semula begitu merasa bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau ini menangis, wahai Urwah? Beliau menjawab, Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya bukan karena hilangnya satu kaki saya yang hakikatnya milih Allah, yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah dengan kaki yang tinggal satu ini masih mungkinkah saya bisa iberibadah dengan sempurna kepada Allah?
Allahu Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang mu'min seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi, malamnya salah seorang anak yang ia cintai dari tujuh anak itu meninggal dunia. Ketika berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit dari tempat tidur ini, karenanya tolong uruss jenazahnya, mandikan, kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak jenazah anak saya. Maka dilaksanakanlah, lalu dia pegang jenazah anaknya dan diusap kepalanya sambil kemudian mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah. Engkau telah karuniai saya tujuh anak. Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban mendidik mereka di jalan yang engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau ambil salah seorang di antara mereka milik_Mu Ya Allah, bukan milikku. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Hakikatnya ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif, yang tidak positif adalah joka seseorang yang telah diberi peluang untuk mengikuti ujian tapi ternyata dia tidak lulus dalam ujiannya. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan ternyata bisa lulus dalam ujiannya.
Disadari atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah yang sebenarnya, sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam hidupnya. Ini pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang sebenarnya.
Kedua, yang mendasari terjadinya musibah adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min. "bukan" dalam bentuk ujian keimanan, tetapi sebenarnya Allah SWT sedang memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang mu'min. Namun karena ketidakmampuan manusia untuk bisa memahami hikmah di balik dari suatu peristiwa yang terjadi itu sebagai musibah.
Manusia tidak akan pernah mungkin bisa memahami apa hikmah di balik peristiwa yang sedang terjadi. pada saat peristiwa itu terjadi.. Kita akan bisa merasakan hikmahnya setelah sekian lama peristiwa tersebut terjadi. Pada saat peristiwa itu terjadi, mungkin saat itu kita menganggap sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun kemudian barulah kita menyatakan rasa syukurselalu menyadari hikmahnya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah berniat dengan berbagai macam persiapan menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari domisilinya yang terlebih dahulu dia telah memesan tiket pesawat. Pada saat pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata hanya terlambat beberapa menit dia tertinggal di Bandara. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkpan dalam bentuk cacian, makaian atu dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat kemudian melalui berita dia mendemgar bahwa pesawat yang semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu, dia sadar dan bersyukur karena tertinggal pesawat.
Karena ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia memastikan apa yang akan terjadi dan Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok" (Luqman, 31:34).
Di lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah 2:216). Oleh karena ketidakmampuan kita dalam memehami hikmah dari suatu peristiwa yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak baik, padahal sangat baik bagi kita. Jadi sangat mungkin sekali bahwa musibah yang menimpa diri kitasaat ini sebenarnya bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik bagi kita dunia dan akherat.
Ketiga, bisa juga musibah itu menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu'mn masih dalam konteks kasih sayang-Nya. Karena sangat dimungkinkan menurut Allah SWT bahwa si mu'min ini sudah mulai jauh meninggalkan aturan dan hukum-Nya yang menurut Allah, yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan agar segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.
Kalau musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik, berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan menunjukkan kepada kita apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah masih mau mengingatkan agar kita segera bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kita.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah" (pelajaran) nagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat mengecilkan arti kehidupan yang bersifat duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in bernama Urwah bin Zabir, yang ditakdirkan-Nya salah satu kakinya dari lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didtangkan 4 orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali amputasi (memotong) kaki yang membusuk tersebut. Jika tidak maka dikhawatirkeun penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.
Ketika berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan, kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera saja dilakukan? Lantas sepakat 4 Tabib ini siap untuk melakukan operasi. Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkan oleh Tabib minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia bertanya, minuman apa ini? "Arak" kata Tabib. Maksudnya apa, tanya Urwah. Jawab Tabib, supaya anda mabuk sehingga ketika anda dioperasi tidak terlalu merasa sakit karena sebentar lagi kaki anda akan digergaji mulai dari kulit, daging hingga tulang. Dan tentu saja akan terjasi pendarahan yang luar biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan "kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kakai anda dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.
Jawab Urwah, "saya tidak yakin jika anda seorang mu'min yang beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan akalnya. Sehingga dia sudah tidak knal lagi siapa Tuhannya, sudah tidak lagi sadar di mana Allah? Betapa saya meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk seperti untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku".
Lantas apa yang mesti kami lakukan, kata Tabib. Urwah berkata, setelah saya memberi isyarat dengan tangan saya, silaghkan laksanakan tugas kalian, gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali. Lalu Urwah pun asyik khusyu berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji kakinya. Maka digergajilahkaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam kuali.Konon dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.
Dibawakanlah potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulilah selama ini Engkau telah karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini Engkau ambil satu milik-Mu Ya Allah. innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas potongan kaki diberikan sambil memerintahkan untuk dikuburkan.
Nyaris tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang menyaksikan sejak awal itu berkomentar, kami semula begitu merasa bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau ini menangis, wahai Urwah? Beliau menjawab, Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya bukan karena hilangnya satu kaki saya yang hakikatnya milih Allah, yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah dengan kaki yang tinggal satu ini masih mungkinkah saya bisa iberibadah dengan sempurna kepada Allah?
Allahu Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang mu'min seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi, malamnya salah seorang anak yang ia cintai dari tujuh anak itu meninggal dunia. Ketika berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit dari tempat tidur ini, karenanya tolong uruss jenazahnya, mandikan, kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak jenazah anak saya. Maka dilaksanakanlah, lalu dia pegang jenazah anaknya dan diusap kepalanya sambil kemudian mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah. Engkau telah karuniai saya tujuh anak. Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban mendidik mereka di jalan yang engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau ambil salah seorang di antara mereka milik_Mu Ya Allah, bukan milikku. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber: Lembar Kajian
Syakhshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia