Jumat, 19 November 2010

QS. AL BAQARAH, 2:128

"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang"

     Ayat ini merupakan salah satu bentuk doa Nabi Ibrahim As, bersama putranya, Ismail As, di mana di awal ayat mereka berdua berdoa: "Rabbanaa waj 'ainaa muslimaini" (Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau). Sepintas terkesan amatlah sederhana redaksi doa tersenut, namun jika kita cermati lebih seksama lagi dari sisi maknanya maka didalamnya terkandung maksud yang sangat luar biasa bagi dasar-dasar kehidupan kita, terutama jika dikaitkan dengan persoalan yang sering mengganjal dalam diri kita, kenapa seseorang sering merasa sangat sulit untuk menjadi seorang yang muslim (tunduk, patuh, taat) kepada semua aturan Allah?
     Jika kita kaitkan dengan ayat sebelumnya, tatkala Nabi Ibrahim As dan Ismail As melaksanakan tugas merenovasi Baitullah sebenarnya keduanya telah menunjukan bentuk kemuslimannya. Usai mereka melaksanakan tugas tersebut, keduanyamemohon lagi agar Allah berkenan menjadikan mereka seorang muslim. Hal ini sama artinya dengan meminta kewajiban lain yang harus mereka lakukan. Tidak ada orang yang baru saja melaksanakan kewajiban kepada Allah lalu meminta ditetapkan kewajibannya yang lain kecuali jika yang bersangkutan telah menikmati kewajiban yang dibebankan kepadanya.
     Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail sangat luar biasa menikmati ibadah kepada Allah, dimana ibadah sudah dapat dinimati sebagai kebutuhan bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, inilah mungkin yang menjadi persoalan dari sebagian kita. Pelaksanaan ibadah yang dilakukan hanya atas dasar menggugurkan kewajiban, maka tidak akan ada dampak yang positif terhadap perilaku usai melakukan ibadah tersebut.
     Pada lanjutan ayat dinyatakan: "Wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimatal laka"( Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh pada Engkau). Ayat ini mengisyaratkan bahwa Nabi Ibrahim As tidak pernah terlupakan untuk mendoakan keturunanya. Sebuah pelajaran berharga bagi kita untuk berdoa tidak hanya untuk diri kita sendiri, namun kita diajarkan juga untuk mendoakan saudara-saudara kita yang lain.
     Setelah beliau berdua memohon untuk senantiasa dijadikan sebagai hamba-Nya yang muslim dan meminta untuk bisa melaksanakan kewajiban yang lain, dan tidak lupa memohonkan kepada keturunanya pula agar mengikuti jejaknya menjadi orang yang muslim, lalu mereka berdoa: Wa arinaa manaasikanaa" (Dan tunjukilah kepada kami tata cara melaksanakan ibadah). Satu bentuk permohonan untuk melakukan seluruh rangkaian ibadah agar tidak menyimpang dari aturan-Nya.
     Pada penghujung ayat Nabi Ibrahim As dan Ismail As memohon: "Wa tub 'alainna innakan antattawwaabur rahiim" (Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang). Nabi Ibrahim As dan Ismail As di sini telah mengajarkan kepada kita bahwa ibadah yang beliau mohonkan kiranya menjadi jalan bagi pencucian diri dan juga mengharap keridhaan-Nya, "tidak ada" kaitan dengan kenikmatan dunia. Hanya mengharapkan pahala di akhiratlah yang boleh menyertai ibadah kita di hadapan Allah SWT.
     Pada ayat ini disebutkan "Taubat". Pertanyaannya, adakah hubungan antara "Taubat dan Istighfar?". Taubat adalah upaya seseorang untuk kembali hidup di jalan Allah setelah yang bersangkutan menyadari bahwa dirinya telah keluar dari jalan-Nya, sementara lisannya memperbanyak istighfar dengan kata lain orang yang bertaubat pasti beristighfar, sementara orang yang dengan lidahnya beristighfar mengucapkan kalimat astaghfirullah al adziim, misalnya, belum tentu bertaubat.
     Pada ayat ini disebutkan, "Wa tub 'alainaa", pertanyaannya, apakah Nabi Ibrahim As dan Ismail As pernah keluar dari jalan-Nya sehingga mereka harus bertaubat? Tidak mungkin!. Karena mereka berdua telah dima'sum. Lalu untuk siapa beliau memohonkan taubat?. Permohonanya dimaksudkan untuk keturunannya. Pertanyaan yang muncul kemudian, dari mana Nabi Ibrahim As mengetahui bahwa keturunannya nanti akan berbuat maksiat kepada Allah? Beliau mengetahui setelah Allah SWT menyatakannya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam ayat sebelumnya (ayat 126); "Barangsiapa yang ingkar maka Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
     Paling tidak, ada "Tiga" hikmah dari Taubat. Pertama, Allah SWT sangat mencintai orang yang bertaubat karena dia telah mengikuti perintah Allah, "Wa saar'uu ilaa maghfiratim mir rabbikum" (Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhanmu) (QS. Ali Imran, 3:133). Kenapa Allah SWT mencintai orang yang bertaubat? Karena taubat itu salah satu bentuk dari permohonan, sedangkan doa menurut Rasul adalah intinya sebuah ibadah. Di mana ibadah yang paling disenangi oleh Allah SWT dari manusia adalah berdoa.
     Jika seseorang pernah berbuat dosa beberapa tahun lalu, lalu ketika pertama berbuat dosadia telah melaksanakan perintah Allah yakni bersegera menuju ampunan-Nya (QS. Ali Imran, 3:133), namun setiap kali yang bersangkutan teringat akan dosanya dia pun bertaubat lagi. Padahal saat pertama kali bertaubat Allah SWT telah mengampuni-Nya, apakah itu berarti taubatnya sia-sia? Tentu saja tidak sia-sia, bahkan justru berpahala kepada Allah karena dia telah melakukan apa yang dicintai oleh Allah.
     Kedua, Allah SWT bukan hanya mengampuni dosa bagi orang bertaubat, tetapi akan mengganti kejelekannya itu dengan kebaikan. Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal-amal yang shaleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka' (QS. Muhammad, 47:2). Juga dalam firman-Nya: "Dan tidaklah samma kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik" (QS. Fushshilat, 41:34).
     Ketiga, hikmah taubat itu sendiri adalah perlindungan kepada masyarakat. Maksudnya adalah jika karena sebuah maksiat yang dilakukan seseorang lalu tidak dibukakan pintu taubat dan yang bersangkutan akan masuk neraka, maka orang yang sudah terlanjur berbuat maksiat akan terus berbuat maksiat. Dapat dibayangkan kehidupan masyarakat akan sangat tidak kondusif jika pintu taubat tidak dibukakan untuk orang yang telah berbuat dosa.
     Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber Lembar Kajian
Syakshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar