Jumat, 19 November 2010

IKHLAS BERJUANG RELA BERKORBAN

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah ayah'nda akan menemui ananda dalam keadaan tabah dan sabar"
(QS. Ash-Shaffat: 102) 

     9 Dzul Hijjah, "Duyuuf Ar Rahmaan" (Tamu-tamu Allah) berkumpul di padang Arafah, ditengah-tengah padang pasir yang kering lagi gersang, di bawah terik panas mentari yang menyengat. Pakaian mereka serba putih, melambangkan kesucian hati mereka. Yang pria hanya mengenakan dua helai kain tanpa jahit. Sehingga sulit bagi seseorang membedakan, mana yang kaya dan mana yang miskin. Mana yang pejabat dan mana yang hanya rakyat biasa. Dari balik tenda mereka terdengar desah dzikir, terkadang disertai pula butir-butir air mata, yang berjatuhan membasahi pasir yang gersang, karena teringat akan dosa dan kesalahan yang telah begitu banyak dilakukan.
     10 Dzulhijjah mereka berkumpul di Mina. Di tempat inilah pengorbanan yang hakiki pernah terjadi, yaitu tatkala Nabiyullah Ibrahim as merelakan putranya, Ismail yang sangat dicintainya untuk disembelih,yang diikuti kemudian dengan keikhlasan sang putra, tatkala dengan tegar ia mengatakan: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah ayah'nda akan menemui ananda dalam keadaan tabah dan sabar" (QS. Ash-Shaffat: 102).
     Keduanya sama-sama rela berkorban di jalan Allah, dalam bentuk pengorbanan yang termahal dalam sejarah manusia. Walaupun tidak sampai terjadi (Kendati Ismail telah meletakan lehernya pada sepenggal kayu, dan sang Ayah telah menghunus pisaunya) namun tetap mempunyai makna sejarah yang dalam, tertulis dan terlukis sepanjang masa, bahwa untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kerelaan berkorban adalah resikonya.
    Tanpa kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi yang sering kali berbau duniawi, maka pasti tujuan perjuangan yang menyangkut kepentingan pribadi dan ummat tidak mungkin dapat tercapai. Allah SWT telah memperingatkan kita akan hal ini lewat firman_Nya: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang sangat banyak sekali maka karenanya shalatlah (akuilah bahwa semua itu berasal dariAllah) dan berkorbanlah, sesungguhnya (kejahatan) orang-orang yang membencimu itu akan hancur" (QS. Al Kausar: 1-3).
     Seorang mu'min dituntut untuk rela berkorban apa saja. Baik dalam wujud harta benda, pangkat, jabatan atau bahkan nyawa. Kalau memang hanya dengan pengorbanan dalam bentuk itulah, pengabdian terhadap Allah SWT terlaksana, dan ummat manusia terhindar dari kekufuran dan kemusyrikan, dan dari jalan yang sesat dan menyesatkan. Dan setiap mu'min pasti akan ikhlas mengorbankan tenaga, fikiran, waktu, harta bahkan nyawa sekalipun. Karena ia yakin, pengorbanan dalam bentuk apapu, sepanjang didasari keikhlasan niat semata-mata mencari ridha Allah, pasti tidak akan sia-sia di sisi-Nya. Karena ia yakin betul akan janji Allah SWT: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka" (QS. Al Taubah: 111).
     Pada hari Raya Qurban, kita kenang dan renungkan sejenak, korban demi korban yang telah, sedang dan akan terjadi. Di mana perjuangan dan pengorbanan terus berlangsung dari masa ke masa, dan tidak akan pernah reda dan habis sampai kapanpun. Karena kita hidup di alam dunia yang selalu ditandai dengan dinamika yang bergerakdan berubah terus. Bila kemarin kita baru saja usai dari satu perjuangan, maka hari ini pun kita sedang gigih pula berjuang. Dan esok kita akan dituntut untuk tetap terus berjuang dan berkorban, agar dapat terwujud kebahagiaan yang hakiki di dunia ini dan di akhirat nanti.
    Pada hari ini, mari kita kenang dan renungkan sejenak, perjuangan dan pengorbanan para Nabi dan Rasul, yang dengan sengaja diabadikan Allah SWT dalam Al Qur'an, agar dapat menjadi "Tazkirah" (peringatan) kepada kita sekalian, bahwa hidup di dunia ini tidak akan pernah sepi dari perjuangan dan pengorbanan. Agar kita menyadari sepenuhnya, bahwa berjuang dan kesediaan untuk berkorban merupakan dinamika hidup yang harus dihadapi selama kita hidup yang harus dihadapi selama kita hidup di dunia ini. Sebab, seandainya kita ingin hidup di atas permadani yang empuk, tanpa rintangan gunung tinggi yang harus didaki, atau lautan luas penuh gelombang badai dan taufan yang harus diarungi, maka kita harus hidup di akhirat, tepatnya di Syurga!. Sebab hanya di Syurga sajalah kita akan sepi dari jalan yang mendaki dan menurun. Karena disana ni'mat makan dan minum misalnya, bukan lagi disebabkan karena kita lapar dan dahaga, tapi semata-mata karena ni'mat makan dan minum itu sendiri, karena ni'matnya hidup di sisi Allah SWT.
     Perjuangan yang kita lakukan haruslah didasari niat semata-mata mencari ridha Allah SWT, dan pengorbanan yang kita berikan juga ikhlas karena Allah SWT. Dengan menyerahkan sebagian kemerdekaan pribadi untuk kepentingan dan kebahagiaan bersama. Sebagai suami atau istri, sebagai orang tua atau anak, kita berjuang dan berkorban, agar seluruh keluarga terhindar dari ancaman siksa api neraka jahannam. Sebagai jawaban sikap kita terhadap peringatan Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka jahannam". (QS. AT Tahrim :6). Sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, baik yang memimpin, maupun yang dipimpin, sama-sama berjuang dan berkorban, untuk kesejahtraan hidup bersama di dunia ini, dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi di akhirat nanti.
     Tekad untuk berjuang dan keikhlasan untuk berkorban saja ternyata tidaklah cukup. Karena Nabiyullah Ibrahim as beserta putranya, Ismail as, masih diuji lagi keteguhan iman mereka, lewat bisikan-bisikan iblis yang menggoda. Setahap demi setahap mereka berdua menghadapi godaan tersebut. Satu demi satu batu dilemparkan, sebagai tamsil dari pernyataan "Perang" melawan iblis dalam segala bentuknya, yang selalu akan muncul menggoda, dikala seorang hampa Allah menelusuri "Sirathal Mustaqqim" (Jalan lurus yang diridhai Allah SWT). Kini, bukan lagi puluhan batu yang dilemparkan oleh para jamaah haji, namun berjuta-juta jumlahnya.
     Untuk mengingatkan kita selalu bahwa tatkala kita berniat dan bertekad menempatkan diri di jalan yang benar, maka pasti iblis akan hadir di sana, sebab yang demikian kitu sudah menjadi tekadnya. Sebagaimana dinyatakan iblis sendiri lewat firman Allah SWT: "Iblis mengatakan: Karena Engkau (Allah) telah menghukum saya tersesat, maka niscaya saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat beribadah)" (QS. Al A'raaf: 16-17).
     Namun, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim as dan putranya Ismail yang berhasil memerangi godaan iblis, kita pun pasti mampu pula, sepanjang iman terpatri dalam lubuk hati, diiringi usaha dan upaya serta tawakkal diri kepada Yang Mahakuasa. Allah SWT telah menjanjikan hal ini dalam firmannya: "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya" (QS. Ath Thalaq: 2).
     Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber:  Lembar kajian 
Syakhshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar