Jumat, 26 November 2010

MENYIKAPI MUSIBAH


"Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi musibah dalam hidup. Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna musibah dan salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi musibah akibatnya bisa sangat fatal terhadap tingkat keimanannya"
Bagi seorang mu'min tentu meyakini bahwa segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena "Kun Fayakun" Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan "muhasabah" (introspeksi) atau"tazkirah" (peringatan) bagi diri kita, apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.
     Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali(ke jalan yang benar ) (QS. As Sajdah, 32:21).
     Dan, jika menimpa orang yang mu'min, pasti itu adalah bentuk kasih sayang Allah SWT. Dalam sebuah hadtis Rasulullah Saw pernah menyatakan: "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mu'min itu sebagai bentuk kasih-sayang.
   Paling tidak ada "tiga" kemungkinan yang mendasari terjadinya musibah yang menurut Al Qur'an sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada orang-orang mumin. Pertama, sebagai ujian keimanan bagi orang mu'min. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mu'min diantaranya ditunjukan_Nya dengan menurunkan musibah dengan memberikan peluan kepada hamba-hamba-Nya uang mu'min  untuk mengikuti ujian dalam proses peningkatan keimananya. Allah SWT berfirman: Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan  "aamannaa" (kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah  Kami uji ummat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya dan siapa pula yang dusta" (QS AlAnkabuut, 29:2-3)
     Hakikatnya ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif, yang tidak positif adalah joka seseorang yang telah diberi peluang  untuk mengikuti ujian tapi ternyata dia tidak lulus dalam ujiannya. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan ternyata bisa lulus dalam ujiannya.
     Disadari atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah yang sebenarnya, sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam hidupnya. Ini  pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang sebenarnya.
     Kedua, yang mendasari terjadinya musibah adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min. "bukan" dalam bentuk ujian keimanan, tetapi sebenarnya Allah SWT sedang  memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang mu'min. Namun karena ketidakmampuan manusia untuk bisa memahami hikmah di balik dari suatu peristiwa yang terjadi itu sebagai musibah.
     Manusia tidak akan pernah mungkin bisa memahami apa hikmah di balik peristiwa yang sedang terjadi. pada saat peristiwa itu terjadi.. Kita akan bisa merasakan hikmahnya setelah sekian lama peristiwa tersebut terjadi. Pada saat peristiwa itu terjadi, mungkin saat itu kita menganggap sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun kemudian barulah kita menyatakan rasa syukurselalu menyadari hikmahnya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah berniat dengan berbagai macam persiapan menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari domisilinya yang terlebih dahulu dia telah memesan tiket pesawat. Pada saat pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata hanya terlambat beberapa menit dia tertinggal di Bandara. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkpan dalam bentuk cacian, makaian atu dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat kemudian melalui berita dia mendemgar bahwa pesawat yang semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu, dia sadar dan bersyukur karena tertinggal pesawat.
     Karena ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia memastikan apa yang akan terjadi dan Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok" (Luqman, 31:34).
    Di lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah 2:216). Oleh karena ketidakmampuan kita dalam memehami hikmah dari suatu peristiwa yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak baik, padahal sangat baik bagi kita. Jadi sangat mungkin sekali bahwa musibah yang menimpa diri kitasaat ini sebenarnya bentuk kasih sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik bagi kita dunia dan akherat.
     Ketiga, bisa juga musibah itu menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula sebagai pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu'mn masih dalam konteks kasih sayang-Nya. Karena sangat dimungkinkan menurut Allah SWT bahwa si mu'min ini sudah mulai jauh meninggalkan aturan dan hukum-Nya yang menurut Allah, yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan agar segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.
     Kalau musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik, berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan menunjukkan kepada kita apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah masih mau mengingatkan agar kita segera bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kita.
     Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah" (pelajaran) nagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat mengecilkan arti kehidupan yang bersifat duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in bernama Urwah bin Zabir, yang ditakdirkan-Nya salah satu kakinya dari lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didtangkan 4 orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali amputasi (memotong) kaki yang membusuk tersebut. Jika tidak maka dikhawatirkeun penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.
     Ketika berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan, kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera saja dilakukan? Lantas sepakat 4 Tabib ini siap untuk melakukan operasi. Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkan oleh Tabib minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia bertanya, minuman apa ini? "Arak" kata Tabib. Maksudnya apa, tanya Urwah. Jawab Tabib, supaya anda mabuk sehingga ketika anda dioperasi tidak terlalu merasa sakit karena sebentar lagi kaki anda akan digergaji mulai dari kulit, daging hingga tulang. Dan tentu saja akan terjasi pendarahan yang luar biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan "kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kakai anda dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.
      Jawab Urwah, "saya tidak yakin jika anda seorang mu'min yang beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan akalnya. Sehingga dia sudah tidak knal lagi siapa Tuhannya, sudah tidak lagi sadar di mana Allah? Betapa saya meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk seperti untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku".
     Lantas apa yang mesti kami lakukan, kata Tabib. Urwah berkata, setelah saya memberi isyarat dengan tangan saya, silaghkan laksanakan tugas kalian, gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali. Lalu Urwah pun asyik khusyu berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji kakinya. Maka digergajilahkaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam kuali.Konon dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.
     Dibawakanlah potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulilah selama ini Engkau telah karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini Engkau ambil satu milik-Mu Ya Allah. innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas potongan kaki diberikan sambil memerintahkan untuk dikuburkan.
     Nyaris tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang menyaksikan sejak awal itu berkomentar, kami semula begitu merasa bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau ini menangis, wahai Urwah? Beliau menjawab, Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya bukan karena hilangnya satu kaki saya yang hakikatnya milih Allah, yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah dengan kaki yang tinggal satu ini masih mungkinkah saya bisa iberibadah dengan sempurna kepada Allah?
     Allahu Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang mu'min seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi, malamnya salah seorang anak yang ia cintai dari tujuh anak itu meninggal dunia. Ketika berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit dari tempat tidur ini, karenanya tolong uruss jenazahnya, mandikan, kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak jenazah anak saya. Maka dilaksanakanlah, lalu dia pegang jenazah anaknya dan diusap kepalanya sambil kemudian mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah. Engkau telah karuniai saya tujuh anak. Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban mendidik mereka di jalan yang engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau ambil salah seorang di antara mereka milik_Mu Ya Allah, bukan milikku. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa.
     Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber: Lembar Kajian
Syakhshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia
 

Jumat, 19 November 2010

IKHLAS BERJUANG RELA BERKORBAN

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah ayah'nda akan menemui ananda dalam keadaan tabah dan sabar"
(QS. Ash-Shaffat: 102) 

     9 Dzul Hijjah, "Duyuuf Ar Rahmaan" (Tamu-tamu Allah) berkumpul di padang Arafah, ditengah-tengah padang pasir yang kering lagi gersang, di bawah terik panas mentari yang menyengat. Pakaian mereka serba putih, melambangkan kesucian hati mereka. Yang pria hanya mengenakan dua helai kain tanpa jahit. Sehingga sulit bagi seseorang membedakan, mana yang kaya dan mana yang miskin. Mana yang pejabat dan mana yang hanya rakyat biasa. Dari balik tenda mereka terdengar desah dzikir, terkadang disertai pula butir-butir air mata, yang berjatuhan membasahi pasir yang gersang, karena teringat akan dosa dan kesalahan yang telah begitu banyak dilakukan.
     10 Dzulhijjah mereka berkumpul di Mina. Di tempat inilah pengorbanan yang hakiki pernah terjadi, yaitu tatkala Nabiyullah Ibrahim as merelakan putranya, Ismail yang sangat dicintainya untuk disembelih,yang diikuti kemudian dengan keikhlasan sang putra, tatkala dengan tegar ia mengatakan: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah ayah'nda akan menemui ananda dalam keadaan tabah dan sabar" (QS. Ash-Shaffat: 102).
     Keduanya sama-sama rela berkorban di jalan Allah, dalam bentuk pengorbanan yang termahal dalam sejarah manusia. Walaupun tidak sampai terjadi (Kendati Ismail telah meletakan lehernya pada sepenggal kayu, dan sang Ayah telah menghunus pisaunya) namun tetap mempunyai makna sejarah yang dalam, tertulis dan terlukis sepanjang masa, bahwa untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kerelaan berkorban adalah resikonya.
    Tanpa kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi yang sering kali berbau duniawi, maka pasti tujuan perjuangan yang menyangkut kepentingan pribadi dan ummat tidak mungkin dapat tercapai. Allah SWT telah memperingatkan kita akan hal ini lewat firman_Nya: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang sangat banyak sekali maka karenanya shalatlah (akuilah bahwa semua itu berasal dariAllah) dan berkorbanlah, sesungguhnya (kejahatan) orang-orang yang membencimu itu akan hancur" (QS. Al Kausar: 1-3).
     Seorang mu'min dituntut untuk rela berkorban apa saja. Baik dalam wujud harta benda, pangkat, jabatan atau bahkan nyawa. Kalau memang hanya dengan pengorbanan dalam bentuk itulah, pengabdian terhadap Allah SWT terlaksana, dan ummat manusia terhindar dari kekufuran dan kemusyrikan, dan dari jalan yang sesat dan menyesatkan. Dan setiap mu'min pasti akan ikhlas mengorbankan tenaga, fikiran, waktu, harta bahkan nyawa sekalipun. Karena ia yakin, pengorbanan dalam bentuk apapu, sepanjang didasari keikhlasan niat semata-mata mencari ridha Allah, pasti tidak akan sia-sia di sisi-Nya. Karena ia yakin betul akan janji Allah SWT: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka" (QS. Al Taubah: 111).
     Pada hari Raya Qurban, kita kenang dan renungkan sejenak, korban demi korban yang telah, sedang dan akan terjadi. Di mana perjuangan dan pengorbanan terus berlangsung dari masa ke masa, dan tidak akan pernah reda dan habis sampai kapanpun. Karena kita hidup di alam dunia yang selalu ditandai dengan dinamika yang bergerakdan berubah terus. Bila kemarin kita baru saja usai dari satu perjuangan, maka hari ini pun kita sedang gigih pula berjuang. Dan esok kita akan dituntut untuk tetap terus berjuang dan berkorban, agar dapat terwujud kebahagiaan yang hakiki di dunia ini dan di akhirat nanti.
    Pada hari ini, mari kita kenang dan renungkan sejenak, perjuangan dan pengorbanan para Nabi dan Rasul, yang dengan sengaja diabadikan Allah SWT dalam Al Qur'an, agar dapat menjadi "Tazkirah" (peringatan) kepada kita sekalian, bahwa hidup di dunia ini tidak akan pernah sepi dari perjuangan dan pengorbanan. Agar kita menyadari sepenuhnya, bahwa berjuang dan kesediaan untuk berkorban merupakan dinamika hidup yang harus dihadapi selama kita hidup yang harus dihadapi selama kita hidup di dunia ini. Sebab, seandainya kita ingin hidup di atas permadani yang empuk, tanpa rintangan gunung tinggi yang harus didaki, atau lautan luas penuh gelombang badai dan taufan yang harus diarungi, maka kita harus hidup di akhirat, tepatnya di Syurga!. Sebab hanya di Syurga sajalah kita akan sepi dari jalan yang mendaki dan menurun. Karena disana ni'mat makan dan minum misalnya, bukan lagi disebabkan karena kita lapar dan dahaga, tapi semata-mata karena ni'mat makan dan minum itu sendiri, karena ni'matnya hidup di sisi Allah SWT.
     Perjuangan yang kita lakukan haruslah didasari niat semata-mata mencari ridha Allah SWT, dan pengorbanan yang kita berikan juga ikhlas karena Allah SWT. Dengan menyerahkan sebagian kemerdekaan pribadi untuk kepentingan dan kebahagiaan bersama. Sebagai suami atau istri, sebagai orang tua atau anak, kita berjuang dan berkorban, agar seluruh keluarga terhindar dari ancaman siksa api neraka jahannam. Sebagai jawaban sikap kita terhadap peringatan Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka jahannam". (QS. AT Tahrim :6). Sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, baik yang memimpin, maupun yang dipimpin, sama-sama berjuang dan berkorban, untuk kesejahtraan hidup bersama di dunia ini, dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi di akhirat nanti.
     Tekad untuk berjuang dan keikhlasan untuk berkorban saja ternyata tidaklah cukup. Karena Nabiyullah Ibrahim as beserta putranya, Ismail as, masih diuji lagi keteguhan iman mereka, lewat bisikan-bisikan iblis yang menggoda. Setahap demi setahap mereka berdua menghadapi godaan tersebut. Satu demi satu batu dilemparkan, sebagai tamsil dari pernyataan "Perang" melawan iblis dalam segala bentuknya, yang selalu akan muncul menggoda, dikala seorang hampa Allah menelusuri "Sirathal Mustaqqim" (Jalan lurus yang diridhai Allah SWT). Kini, bukan lagi puluhan batu yang dilemparkan oleh para jamaah haji, namun berjuta-juta jumlahnya.
     Untuk mengingatkan kita selalu bahwa tatkala kita berniat dan bertekad menempatkan diri di jalan yang benar, maka pasti iblis akan hadir di sana, sebab yang demikian kitu sudah menjadi tekadnya. Sebagaimana dinyatakan iblis sendiri lewat firman Allah SWT: "Iblis mengatakan: Karena Engkau (Allah) telah menghukum saya tersesat, maka niscaya saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat beribadah)" (QS. Al A'raaf: 16-17).
     Namun, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim as dan putranya Ismail yang berhasil memerangi godaan iblis, kita pun pasti mampu pula, sepanjang iman terpatri dalam lubuk hati, diiringi usaha dan upaya serta tawakkal diri kepada Yang Mahakuasa. Allah SWT telah menjanjikan hal ini dalam firmannya: "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya" (QS. Ath Thalaq: 2).
     Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber:  Lembar kajian 
Syakhshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia 

 

KRITERIA ORANG BERTAKWA


"Yaa ayuuhal ladziina aamanuu kutiba 'alaikumush shiyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la'allakum tattaqquun"
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas kamu orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"(QS. AL Baqarah 2:183)
Bila kita merujuk pada Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 183 di atas, jelas sekali Allah menyatakan apa yang menjadi tujuan utama diperintahkannya orang beriman melaksanakan shaum yaitu agar menjadi insan muttaqien, insan yang paling paripurna di mata Allah.
     Sedangkan digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujuraat, 49:13).
     Berbicara tentang target hidup di dunia ini, tentunya kita akan senantiasa berupaya meraih predikat insan yang termulia di sisi-Nya. Untuk itu layak pula kiranya jika kita memiliki cita-cita atau keinginan agar jangan meninggal dunia sebelum meraih predikat tersebut.
     Dalam rangka membimbing hamba-hamban-Nya untuk bisa mencapai predikat muttaqien, ada beberapa kriteria yang sangat mendasar yang Allah tunjukkan dalam Al Qur'an. Kriteria pertama, keimanan kepada Allah SWT. Keimanan selalu dijadikan dasar pertama oleh Allah bagi keselamatan hidup seseorang. Sebab tidak ada arti kehidupan dan amal ibadah seseorang jika tidak didasari oleh keimanan kepada Allah. Sebuah amal ibadah akan sia-sia jika tidak dilakukan ikhlas karena Allah.
      Masalah keimanan selalu berkaitan dengan yang ghaib, "Kitab Al Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib" (QS. Al Baqarah, 2: 2-3). Allah SWT adalah Dzat yang Mahaghaib, termasuk Malaikat dan Hari Kiamat, begitu pula Qadha dan Qadar merupakan hal yang ghaib yang karenanya tidak akan pernah ada satu makhluk pun yang dapat mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi. Sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT lewat firman-Nya: "Dan tiada semua jiwa yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok" (QS. Lukman; 34).
     Keimanan adalah fondasi bagi keselamatan hidup seseorang, karena dalam surah Ibrahim ayat 24-26, Allah SWT menyatakan, Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhan-nya. Dan Allah membuat perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun."
     Di mana keimanan diibaratkan seperti akar sebuah pohon. Manusia jika sudah tidak memiliki keimanan maka sama dengan pohon yang tidak memiliki akar. Kehidupan seseorang idealnya seperti sebuah pohon yang akarnya kuat menghujam ke dasar tanah, dahannya menjulang sampai ke langit, dan buahnya bisadinikmati masyarakat yang hidup di sekitar pohon tersebut setiap saat.
     Akarnya adalah kalimat tayyibah, yaitu Laa illaha illaillaah. Adapun pohon yang sudah terangkat akarnya, keberadaannya tidak akan memiliki arti dalam kehidupannya. Cabang pohonnya adalah simbol dari hablumminallah. Dengan dasar keimanan yang kuat, cabangnya akn menjulang ke langit. Maksudnya, disamping dasar akidah yang kuat, seluruh ibadah seorang mu'min ditujukan hanya kepada Allah. Hablumminannas digambarkan seperti pohon yang terus menerus berbuah dan buahnya dapat dinikmati masyarakat yang hidup di sekitarnya setiap saat. Sehingga jika suatu saat orang tersebut meninggal, maka banyak yang merasa kehilangan terutama mereka yang selama itu menikmati buah amal ibadahnya.
     Sehingga sangat jelaslah bahwa tanpa iman kehidupan manusia akan sia-sia sebagaimana kehidupan orang-orang kafir: "Mereka orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya" (QS. Al Kahfi, 18:104), sama dengan pohon yang tidak ada akarnya, Allah SWT berfirman: "Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun (QS. Ibrahim, 14:26). Seperti itulah nasib kehidupan kafir. Kalau keimanannya sudah tidak lurus atau benar maka tidak perlu berbicara tentang amal-amal yang lain, karena sesuatu amal harus didasari iman (QS. Al'Ashr, 103:2-3).
     Pengakuan seseorang beriman pun tidak cukup hanya sekadar pernyataan bahwa "kami telah beriman" karena betapa mudahnyabagi seseorang menyatakan hal itu. Allah SWT berfirman: "Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): Kamu belum beriman", tetapi katakanlah :"kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu..."(QS. Al Hujuraat, 49:14). Dalam konteks ayat ini pengakuan mereka tidak benar menurut Allah, maka pada ayat selanjutnya Allah SWT mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, merekaitulah orang-orang yang benar " (QS. Al Hujuraat, 49:15).
     Lebih jelas lagi sifat-sifat orang mumin telah dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya". (QS. Al Anfaal, 8:24).
     Kriteria insan muttaqien berikutnya akan dibahas pada edisi selanjutnya. Semoga uraian ini dapat menjadi pendorong kita dalam meningkatkan keimanan kepada Allah.
     Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber Lembar Kajian
Syakhshiyyah Islamiyyah
Forum UlamaUmmat Indonesia


QS. AL BAQARAH, 2:128

"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang"

     Ayat ini merupakan salah satu bentuk doa Nabi Ibrahim As, bersama putranya, Ismail As, di mana di awal ayat mereka berdua berdoa: "Rabbanaa waj 'ainaa muslimaini" (Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau). Sepintas terkesan amatlah sederhana redaksi doa tersenut, namun jika kita cermati lebih seksama lagi dari sisi maknanya maka didalamnya terkandung maksud yang sangat luar biasa bagi dasar-dasar kehidupan kita, terutama jika dikaitkan dengan persoalan yang sering mengganjal dalam diri kita, kenapa seseorang sering merasa sangat sulit untuk menjadi seorang yang muslim (tunduk, patuh, taat) kepada semua aturan Allah?
     Jika kita kaitkan dengan ayat sebelumnya, tatkala Nabi Ibrahim As dan Ismail As melaksanakan tugas merenovasi Baitullah sebenarnya keduanya telah menunjukan bentuk kemuslimannya. Usai mereka melaksanakan tugas tersebut, keduanyamemohon lagi agar Allah berkenan menjadikan mereka seorang muslim. Hal ini sama artinya dengan meminta kewajiban lain yang harus mereka lakukan. Tidak ada orang yang baru saja melaksanakan kewajiban kepada Allah lalu meminta ditetapkan kewajibannya yang lain kecuali jika yang bersangkutan telah menikmati kewajiban yang dibebankan kepadanya.
     Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail sangat luar biasa menikmati ibadah kepada Allah, dimana ibadah sudah dapat dinimati sebagai kebutuhan bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, inilah mungkin yang menjadi persoalan dari sebagian kita. Pelaksanaan ibadah yang dilakukan hanya atas dasar menggugurkan kewajiban, maka tidak akan ada dampak yang positif terhadap perilaku usai melakukan ibadah tersebut.
     Pada lanjutan ayat dinyatakan: "Wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimatal laka"( Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh pada Engkau). Ayat ini mengisyaratkan bahwa Nabi Ibrahim As tidak pernah terlupakan untuk mendoakan keturunanya. Sebuah pelajaran berharga bagi kita untuk berdoa tidak hanya untuk diri kita sendiri, namun kita diajarkan juga untuk mendoakan saudara-saudara kita yang lain.
     Setelah beliau berdua memohon untuk senantiasa dijadikan sebagai hamba-Nya yang muslim dan meminta untuk bisa melaksanakan kewajiban yang lain, dan tidak lupa memohonkan kepada keturunanya pula agar mengikuti jejaknya menjadi orang yang muslim, lalu mereka berdoa: Wa arinaa manaasikanaa" (Dan tunjukilah kepada kami tata cara melaksanakan ibadah). Satu bentuk permohonan untuk melakukan seluruh rangkaian ibadah agar tidak menyimpang dari aturan-Nya.
     Pada penghujung ayat Nabi Ibrahim As dan Ismail As memohon: "Wa tub 'alainna innakan antattawwaabur rahiim" (Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang). Nabi Ibrahim As dan Ismail As di sini telah mengajarkan kepada kita bahwa ibadah yang beliau mohonkan kiranya menjadi jalan bagi pencucian diri dan juga mengharap keridhaan-Nya, "tidak ada" kaitan dengan kenikmatan dunia. Hanya mengharapkan pahala di akhiratlah yang boleh menyertai ibadah kita di hadapan Allah SWT.
     Pada ayat ini disebutkan "Taubat". Pertanyaannya, adakah hubungan antara "Taubat dan Istighfar?". Taubat adalah upaya seseorang untuk kembali hidup di jalan Allah setelah yang bersangkutan menyadari bahwa dirinya telah keluar dari jalan-Nya, sementara lisannya memperbanyak istighfar dengan kata lain orang yang bertaubat pasti beristighfar, sementara orang yang dengan lidahnya beristighfar mengucapkan kalimat astaghfirullah al adziim, misalnya, belum tentu bertaubat.
     Pada ayat ini disebutkan, "Wa tub 'alainaa", pertanyaannya, apakah Nabi Ibrahim As dan Ismail As pernah keluar dari jalan-Nya sehingga mereka harus bertaubat? Tidak mungkin!. Karena mereka berdua telah dima'sum. Lalu untuk siapa beliau memohonkan taubat?. Permohonanya dimaksudkan untuk keturunannya. Pertanyaan yang muncul kemudian, dari mana Nabi Ibrahim As mengetahui bahwa keturunannya nanti akan berbuat maksiat kepada Allah? Beliau mengetahui setelah Allah SWT menyatakannya sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam ayat sebelumnya (ayat 126); "Barangsiapa yang ingkar maka Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
     Paling tidak, ada "Tiga" hikmah dari Taubat. Pertama, Allah SWT sangat mencintai orang yang bertaubat karena dia telah mengikuti perintah Allah, "Wa saar'uu ilaa maghfiratim mir rabbikum" (Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhanmu) (QS. Ali Imran, 3:133). Kenapa Allah SWT mencintai orang yang bertaubat? Karena taubat itu salah satu bentuk dari permohonan, sedangkan doa menurut Rasul adalah intinya sebuah ibadah. Di mana ibadah yang paling disenangi oleh Allah SWT dari manusia adalah berdoa.
     Jika seseorang pernah berbuat dosa beberapa tahun lalu, lalu ketika pertama berbuat dosadia telah melaksanakan perintah Allah yakni bersegera menuju ampunan-Nya (QS. Ali Imran, 3:133), namun setiap kali yang bersangkutan teringat akan dosanya dia pun bertaubat lagi. Padahal saat pertama kali bertaubat Allah SWT telah mengampuni-Nya, apakah itu berarti taubatnya sia-sia? Tentu saja tidak sia-sia, bahkan justru berpahala kepada Allah karena dia telah melakukan apa yang dicintai oleh Allah.
     Kedua, Allah SWT bukan hanya mengampuni dosa bagi orang bertaubat, tetapi akan mengganti kejelekannya itu dengan kebaikan. Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal-amal yang shaleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka' (QS. Muhammad, 47:2). Juga dalam firman-Nya: "Dan tidaklah samma kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik" (QS. Fushshilat, 41:34).
     Ketiga, hikmah taubat itu sendiri adalah perlindungan kepada masyarakat. Maksudnya adalah jika karena sebuah maksiat yang dilakukan seseorang lalu tidak dibukakan pintu taubat dan yang bersangkutan akan masuk neraka, maka orang yang sudah terlanjur berbuat maksiat akan terus berbuat maksiat. Dapat dibayangkan kehidupan masyarakat akan sangat tidak kondusif jika pintu taubat tidak dibukakan untuk orang yang telah berbuat dosa.
     Wallahu a'lam bish-shawab

Sumber Lembar Kajian
Syakshiyyah Islamiyyah
Forum Ulama Ummat Indonesia